Said Nabil
Latar Belakang
Dalam khazanah fikih Islam, maqoshid syari’ah menempatkan ḥifdẓ al-nafs (penjagaan jiwa) sebagai salah satu dari lima prinsip krusial atau dloruriyaat yang harus dilindungi dalam setiap situasi.[1] Dengan demikian, semestinya umat Islam secara kolektif merespons dengan sikap yang berlandaskan pada prinsip amar makruf nahi mungkar terhadap setiap perusakan jiwa, penindasan, dan pembunuhan massal, seperti yang terus berlangsung di Palestina. Namun kenyataan hari ini justru memperlihatkan fenomena sebaliknya, mayoritas umat Islam hanya menjadi silent majority yang justru bersikap pasif, acuh, bahkan apatis terhadap peristiwa-peristiwa ini.
Abstensi umat Islam terhadap mafsadat bukanlah fenomena baru, tetapi dalam konteks modern dengan segala kecanggihan informasi dan keterbukaan global, sikap diam ini menjadi semakin problematik secara etika maupun syar‘i. Dalam Islam sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ramadlan al-Buthi, kemaslahatan tidak dipahami secara sempit sebagai kenikmatan material, sebagaimana dalam sebagian teori etika sekuler.[2] Sebaliknya, nilai maslahah dalam syariat Islam mencakup pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani manusia. Oleh karenanya, sikap apatis terhadap kerusakan dan kezaliman di sekitar kita bukanlah posisi netral, melainkan bentuk pengingkaran terhadap tuntutan ruhaniyah dari ajaran Islam itu sendiri.[3]
Pada dataran yang sama, setiap bentuk pembiaran terhadap kezaliman, dan pembantaian, yang bersifat struktural dan terang-terangan sudah memenuhi syarat untuk diingkari secara mutlak dalam syari’at.[4] Tragedi Gaza merupakan sampel dari kegagalan dalam menunaikan kewajiban kolektif (ummatan wasathan) sehingga kerusakan yang bersifat parsial tersebut berpotensi akan menjalar pada kerusakan universal.[5] Pada titik ini, akhirnya muncul pertanyaan mendasar: bagaimana pandangan fikih terhadap abstensi umat Islam atas terjadinya mafsadat di Gaza? Jika memang kita memiliki kewajiban, lalu bagaimana cara untuk berjihad dalam hal itu? Atau justru hal tersebut sebenarnya memang di luar dari kewajiban kita?
Tanggung Jawab Kolektif dan Abstensi terhadap Palestina
Dalam syariat Islam, tanggung jawab terhadap kondisi sosial___termasuk dalam merespons kerusakan___menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah).[6] Dalam konteks ini, umat Islam menajadi satu kesatuan yang memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas, keadilan, dan keamanan publik. Maka dari itu, sikap abstensi umat Islam secara massal dapat dikatakan tidaklah menunjukkan sifat netral, melainkan bentuk ketidak pedulian terhadap adanya perintah amar makruf nahi mungkar dalam Alquran dan dalil-dalil lain.
Di lain sisi, secara realitas sudah cukup banyak rentetan aksi yang mulai membuktikan bahwa tanggung jawab kolektif ini bukan hanya sekadar wacana dalam ruang akademik fikih. Akan tetapi hal itu juga merupakan bentuk konkret solidaritas umat manusia___baik muslim maupun non-muslim atas penderitaan para korban kejahatan kemanusiaan, seperti yang terjadi dalam fenomena “Global March to Gaza” baru-baru ini.
Global March to Gaza sendiri merupakan sebuah aksi yang diikuti oleh ribuan aktivis dari berbagai negara untuk menembus blokade Israel dan menarik perhatian dunia terhadap genosida di Gaza. Konvoi utama, bernama Sumud Convoy, dipimpin oleh aktivis Tunisia dan didukung oleh serikat buruh, asosiasi pengacara, dan lembaga HAM. Mereka menempuh perjalanan melalui Libya dan Mesir menuju perbatasan Rafah. Kendati menghadapi berbagai hambatan administratif dan keamanan, mereka berharap tekanan publik dapat memaksa Israel menghentikan agresi kejinya. Aksi ini juga menunjukkan solidaritas global lintas negara dan ideologi terhadap penderitaan rakyat Palestina.[7]
Gerakan tersebut menurut saya cukup untuk mengindikasikan bahwa dunia tidak sepenuhnya bungkam, kendati sebatas simbolik. Lebih dari itu, esensi sikap tersebut telah mengimplementasikan bentuk amar makruf nahi mungkar sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi.[8] Perlawanan yang dimaksudkan tidak mesti berbentuk kekuatan fisik, tetapi seruan lisan, demonstrasi damai seperti Global March to Gaza, dan kampanye solidaritas lainnya sudah termasuk bentuk dari implementasi nahi mungkar yang diakui oleh syariat itu sendiri. [9]
Kewajiban Jihad dalam Dunia Berbatas
Dalam literatur fikih klasik, kewajiban jihad memiliki ruang yang cukup fleksibel yang bergantung pada konteks zaman, keadaan, dan wilayah. Ketika terjadi serangan terhadap wilayah muslim, para fuqoha’ menyatakan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ayn bagi penduduk sebuah negeri jika ada serangan yang masuk ke negeri tersebut.[10] Namun, kondisi dunia di era modern ini sudah terpecah oleh batas-batas negara yang menjadikan persoalan ini jauh lebih kompleks.
Pertanyaan krusial yang muncul adalah: apakah batas negara di dunia modern ini dapat membatasi kewajiban umat Islam dalam membela saudara seimannya? padahal di antara tolok ukur terpenting tentang kewajiban menjalankan jihad itu sendiri adalah seberapa dekat jarak suatu penduduk dengan wilayah yang mengalami konflik atau penyerangan.[11]
Para ulama fikih klasik seperti Abu Yusuf, murid utama Abu Hanifah, membagi dunia ke dalam dua kategori besar: daar al-islam dan daar al-harb. Pembagian ini tidak didasarkan pada identitas mayoritas penduduk, melainkan pada kekuasaan hukum yang berlaku. Dalam pandangan Abu Yusuf, suatu negeri disebut daar al-islam apabila hukum-hukum Islam ditegakkan secara resmi oleh otoritas yang berkuasa, meskipun penduduknya mayoritas non-Muslim. Sebaliknya, suatu wilayah yang tidak menerapkan hukum Islam, sekalipun dihuni oleh mayoritas Muslim, dapat tergolong sebagai daar al-harb.[12]
Pembagian dunia ke dalam daar al-islam dan daar al-harb merupakan sebuah keputusan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi politik masa lalu. Dalam konteks dunia modern yang penuh kompleksitas negara-bangsa dan hubungan internasional, penerapan tersebut sudah tidak relevan lagi. Sebagaimana kritikan orang-orang modern, it is counter-productive to recall pre-modern legal concepts to qualify current political structures (tidak produktif untuk menghidupkan kembali konsep hukum pra-modern guna menjelaskan struktur politik masa kini). Maka dari itu, upaya pembaruan hukum Islam harus dimulai dari perubahan cara pandang terhadap dunia yang tidak lagi bisa dibaca dalam pola hitam-putih seperti masa silam.[13]
Berbeda dengan tinjauan fikih hubungan internasional, Wahbah al-Zuhayli menegaskan, bahwa Islam mengakui eksistensi negara-negara lain sebagai entitas sah dengan kepribadian hukum (international personality), kedaulatan penuh dalam rangka menjaga stabilitas dan keadilan internasional tanpa memarginalkan kewajiban menolong sesama muslim yang tertindas. Prinsip “kedaulatan yang setara di antara seluruh anggota komunitas internasional” dipandang sah menurut Islam karena bertujuan menjaga kebebasan dan perdamaian antarnegara. Wahbah Zuhayli berpendapat, Islam melarang keras segala bentuk pelanggaran atas kedaulatan negara lain; invasi, intervensi dalam urusan internal, atau dominasi atas kekayaan dan nasib politik negara lain.[14]
Lebih jauh lagi, Yusuf al-Qaradlawi secara tersirat menolak pembatasan kewajiban jihad oleh batas negara modern. Ia menegaskan bahwa jika suatu komunitas Muslim mengalami penindasan dan tidak mampu membela diri, maka komunitas Muslim terdekat berkewajiban untuk membela mereka, kemudian kewajiban itu terus menjalar ke komunitas yang lebih jauh secara berurutan, dan seterusnya hingga mencakup seluruh umat Islam di belahan dunia.[15] Skema kewajiban bertingkat ini menunjukkan bahwa batas-batas negara dikesampingkan demi menjaga solidaritas dan jihad untuk membela kaum yang tertindas. Hal ini untuk memperkokoh bahwa umat Islam seperti satu tubuh yang saling menanggung penderitaan satu sama lain, tanpa dibatasi oleh sekat geopolitik modern.
Menakar Mafsadat dan Maslahah untuk Membela Palestina
Konsep amar makruf nahi mungkar dalam Islam ini sebenarnya berlaku untuk semua kalangan___baik itu seorang pemimpin atau rakyat biasa, orang yang adil atau fasik, bahkan jika diyakini tidak akan ada hasilnya, kewajiban amar makruf nahi mungkar tetap tidak gugur. Akan tetapi tentunya terdapat satu batasan krusial bahwa semua kewajiban tadi bisa hilang jika realisasi dari amar makruf itu sendiri diyakini akan menimbulkan mafsadatyang lebih besar daripada sebelumnya.[16]
Dalam artian, sebelum bertindak apa pun kita diharuskan untuk menakar kembali mafsadat dan maslahah yang akan kita ciptakan melalui perbuatan dan aksi kita. Fikih tidak menutup mata terhadap realitas, justru ia dibangun di atas kaidah dar’ul mafasid aula min jalbil mashalih (menolak kerusakan lebih didahulukan daripada meraih maslahah), sehingga andai kata kadar maslahah dan mafsadat itu sama, niscaya menghindari mafsadat tetap harus diutamakan.[17]
Mafsadat yang berpotensi timbul dari aksi-aksi tertentu mencakup beberapa hal buruk, sebagaimana kasus yang pernah terjadi di antaranya: diskriminasi terhadap Muslim minoritas di negara-negara mayoritas non-Muslim seperti di Inggris, Prancis, dan Jerman sebagaimana dilaporkan langsung oleh IHRC,[18] penangkapan aktivis seperti yang terjadi di Amman, Yordania pada November 2023,[19] bahkan ketidakstabilan politik.[20] Fikih tidak mendorong keberanian yang membabi buta, melainkan keberanian yang disertai hikmah dan strategi. Aksi yang tidak dikalkulasi secara presisi bisa menjadi bumerang, bahkan justru dapat menghambat perjuangan yang lebih besar.
Di sisi yang lain, diam total atas kebrutalan genosida juga berpotensi menimbulkan mafsadat yang tidak kalah serius seperti: hilangnya simpati dan moral umat, normalisasi penjajahan, dan matinya solidaritas. Kaidah maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun (apa yang menjadi sarana untuk menunaikan kewajiban maka ia juga menjadi kewajiban) menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pembelaan yang berpotensi memberi keamanan dan berdampak positif perlu diupayakan. Ini mencakup diplomasi, edukasi, dukungan kemanusiaan, boikot ekonomi, hingga partisipasi dalam demonstrasi damai. Dalam hal ini, maslahatnya meliputi penguatan solidaritas umat, tekanan diplomatik terhadap rezim penjajah, serta kontribusi kesadaran global terhadap isu yang terjadi di Palestina. [21]
Dari sini, fikih tidak menolak pembelaan terhadap Palestina, tetapi menuntut agar dilakukan dengan cara yang tepat sesuai dengan keadaan, potensi, dan kondisi setiap komunitas Muslim. Menimbang maslahah dan mafsadat merupakan ekspresi dari kedewasaan intelektual Islam dalam menyikapi realitas yang kompleks. Jalan terbaik adalah jalan yang memperkuat posisi umat tanpa membahayakan keberadaannya.
Penutup
Diam terhadap mafsadat bukanlah sikap netral, melainkan pilihan yang menyimpan konsekuensi syar‘i. Dalam konteks Palestina, abstensi umat Islam dari solidaritas dan pembelaan justru berpotensi menjadi bagian dari normalisasi kezaliman. Namun di saat yang sama, pembelaan membabi buta tanpa kalkulasi maslahah dan mafsadat bisa mendatangkan mudarat baru yang tidak kalah besar. Di sini fikih memainkan peran sentralnya sebagai kompas etis dan praktis. Ia tidak hanya memberi justifikasi atas kemarahan moral umat, tetapi juga menuntut kejelasan arah, strategi, dan pertimbangan yang matang.
Dengan mempertimbangkan maqoṣhid syari’ah, kaidah-kaidah fikih klasik, serta realitas dunia modern yang kompleks, umat Islam dituntut untuk tidak larut dalam diam, tetapi juga tidak terjebak dalam tindakan reaktif. Pembelaan terhadap Palestina harus dilakukan dengan cara yang kontekstual, proporsional, dan terarah hingga menjadi bentuk jihad kolektif yang penuh hikmah. Inilah panggilan zaman bagi umat: menjadi suara keadilan tanpa kehilangan kebijaksanaan.
Daftar Pustaka
Al-Buthi, Ramadlan. Dhawābiṭ al-Maṣlaḥah, (Muassasah al-Risālah, 2009)
Al-Qahthani, Sa’ide bin Ali. Al-Jihād fī Sabīlillāh, (Riyadh: Mu’assasah Jeraisy, 2010)
Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh al-Dawlah fī al-Islām. (Kairo: Dār al-Syurūq, 2001), Fiqh al-Jihād, vol. I (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009)
Al-Mardāwī, ‘Ala’uddin. At-Taḥbīr Syarḥ At-Taḥrīr fī Uṣūl al-Fiqh, tahkik oleh ‘Abd al-Raḥmān al-Jibrīn, ‘Awaḍ al-Qarnī, dan Aḥmad al-Sarrāḥ vol.II (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1421 H / 2000 M.)
Amnesty International. “Jordan: End Draconian Crackdown Against Pro Palestinian Activism.” 6 Februari 2024. https://www.amnesty.org/en/latest/news/2024/02/jordan-end-draconian-crackdown-against-pro-palestinian-activism/.
Ayoub, Samy. “Territorial Jurisprudence, Ikhtilaf al-Darayn: Political Boundaries & Legal Jurisdiction.” Contemporary Islamic Studies, 2 (2012). https://doi.org/10.5339/cis.2012.2.New Arab. “Egypt’s Crackdown on Gaza Protests Shows Regime’s Fragility.” 6 Mei 2024.
Az-Zarkasyi. Al-Manṡūr fī al-Qawā‘id. vol. III (Quwait: Cetakan kementrian agama dan wakaf Quwait, 1984)
Gibson, Lara. “Egypt’s Crackdown on Gaza Protests Shows Regime’s Fragility.” The New Arab, 6 Mei 2024. https://www.newarab.com/analysis/egypts-crackdown-gaza-protests-shows-regimes-fragility/.
Holyoake, George Jacob. English Secularism: A Confession of Belief. (Chicago: The Open Court Publishing Company, 1896.)
Ibn Qudamah. Al-Mughnī, vol.X (Beirut: Dar al-fikr. 1984)
Islamic Human Rights Commission. “New Report Accuses Countries of Violating Established Rights to Repress Palestine Advocacy.” 11 Januari 2024. https://www.ihrc.org.uk/press-releases/new-report-accuses-countries-of-violating-established-rights-in-repressing-palestine-advocacy/.
Qarafi, Ahmad al-. Anwār al-Burūq fī Anwā‘ al-Furūq. ttc. vol. VIII.
Suyuthi, Jalaluddin. Al-Asybah wa al-Naẓā’ir. (Beirut: Daar al-kutub al-ilmiyah, 1983)
Syaukani, Muhammad bin Ali. Nayl al-Auṭār, vol. III. (Damaskus: idarah at-tiba’ah al-muniriah, tt.)
Syathibi, Abi Ishaq. Al-Muwāfaqāt, vol. II. (Kairo: Dār Ibn ‘Affān, 2006)
Zuhayli, Wahbah. “Recognition of the International Personality of Other States,” dalam Islam and International Law, h.276
Zainuddin bin Ibrahim bin Nujaym. Al-Asybah wa al-Naẓā’ir ‘alā Madhhab Abī Ḥanīfah al-Nu‘mān. (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1400 H / 1980 M.) h.90
Situs Web
Al Jazeera. “Global March to Gaza: Who Are the Activists and What Are They Doing?” Al Jazeera, 12 Juni 2024. https://www.aljazeera.com/news/2024/6/12/global-march-to-gaza-who-are-the-activists-and-what-are-they-doing.
[1] Abi Ishaq As-Syathibiy. Al-Muwafaqaat,vol.II (Kairo: Daar Ibnu Affaan, 2006) h.20.
[2] George Jacob Holyoake. English Secularism: A Confession of Belief (Chicago: The Open Court Publishing Company, 1896) h.38
[3] Ramadlan Al-Buthi. Dlawabit al-maslahah, (Muassasah Risalah, 2009) h.54.
[4] Yusuf Al-Qaradhawi. min fiqhi daulah fil Islam, (Kairo: Daar As-Syuruuq, 2001) h.124
[5] Ali Jum’ah. Al-Bayaan limaa yasyghal al-adzhan, (Kairo: Daar Al-Muqattam, tt.) h.25
[6] Al-Zarkasyi. Al-Mantsur fil qawa’id, vol.III (Quwait: kementerian agama dan wakaf Quwait, 1984.) h.36
[7] Al Jazeera, “Global March to Gaza: Who Are the Activists and What Are They Doing?” Al Jazeera, June 12, 2024, https://www.aljazeera.com/news/2024/6/12/global-march-to-gaza-who-are-the-activists-and-what-are-they-doing. Dikutip pada : 23.00 CLT, 05/08/2025.
[8] Dalam hadits tersebut Rasulullah menjelaskan tiga tingkatan amar makruf nahi mungkar yaitu dengan perbuatan, lisan, dan ingkar dengan hati. Dan tingkatan yang terakhir merupakan derajat iman paling rendah. Muhammad Bin Ali Syaukani. Nailul Author, vol.III (Damaskus: idarah at-tiba’ah al-muniriah)h.374
[9] Ahmad Al-Qarafiy. Anwaarul buruuq Fii Anwaa’il Furuuq, vol.VIII tt. ttc. h.440
[10] Ibn Qudamah. Al-Mughni. vol.X (Beirut: Dar al-fikr, 1984)h.361
[11] Sa’ide bin Ali Al-Qahthani. Al-Jihad fi Sabilillah. (Riyadh: Mu’assasah Jeraisy, 2010) h.7
[12] Dr. Ismail Lutfi Fathoni, Ikhtilaf al-daarain wa atsaruhu fi ahkamil munakahat wal mu’amalat. (Kairo: Dar as-salam, 1998) h.30
[13] Samy Ayoub, “Territorial Jurisprudence, Ikhtilaf al-Darayn: Political Boundaries & Legal Jurisdiction,” Contemporary Islamic Studies, 2 (2012): 13, https://doi.org/10.5339/cis.2012.2.
[14] Kutipan ini diambil dari bagian “Recognition of the international personality of other States,” dan artikel Wahbah al-Zuhayli dalam Islam and International Law, h. 276
[15] Yusuf Al-Qaradhaw. fiqhul jihaad, vol.I (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009) h. 125
[16] Jalaluddin As-Suyuthi. Asybah wan Nadzair. vol.I(Beirut: Daar al-kutub al-ilmiyah, 1983) h.414
[17] Zainuddin bin Ibrahim bin Nujaym. Al-Asybah wa al-Nazha’ir ‘ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu‘man. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1400 H/1980 M.) h.90
[18] Islamic Human Rights Commission, “New report accuses countries of violating established rights to repress Palestine advocacy,” 11 January 2024, paras. 1–4, https://www.ihrc.org.uk/press-releases/new-report-accuses-countries-of-violating-established-rights-in-repressing-palestine-advocacy/. Dikutip pada : 01.00 CLT, 06/08/2025.
[19] Amnesty International, Jordan: End Draconian Crackdown Against Pro‑Palestinian Activism, 6 Februari 2024, para. 1–3, https://www.amnesty.org/en/latest/news/2024/02/jordan-end-draconian‑crackdown‑against‑pro‑palestinian‑activism/. Dikutip pada : 02.00 CLT, 06/08/2025.
[20] Seperti faktor yang menjadi dasar atas keputusan rezim Sisi dengan memberi tekanan terhadap demonstrasi pro-palestina karena khawatir hal tersebut bisa memicu ketidakstabilan politik internal. Lihat: Lara Gibson, “Egypt’s crackdown on Gaza protests shows regime’s fragility,” The New Arab, 6 Mei 2024, paras. 1–3, https://www.newarab.com/analysis/egypts-crackdown-gaza-protests-shows-regimes-fragility/ Dikutip pada : 02.30 CLT, 06/08/2025.
[21] ‘Ala’uddin Al-Mardāwī. At-Taḥbīr Syarḥ At-Taḥrīr fī Uṣūl al-Fiqh. Tahkik: ‘Abd al-Raḥmān al-Jibrīn, ‘Awaḍ al-Qarnī, dan Aḥmad al-Sarrāḥ, vol.II (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1421 H/2000 M.) h. 924


Tinggalkan Balasan